expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Selasa, 29 Oktober 2013

Analisis Fungsional

     Istilah analisis fungsional seringkali disamakan dengan asesmen funsional. Beberapa buku memang menyebut istilah dua istilah ini secara bergantian. Namun demikian Martin dan Pear (1992) demikian pula halnya dengan Cone (1997) membedakan definisi keduaanya. Martin dan Pear (1992) mengemukakan asesmen fungsional adalah beberapa pendekatan yang digunakan untuk mengidentifikasi antecedents dan consequences dari suatu perilaku tertentu. Sementara itu, analisis fungsional andalah manipulasi sistematis dari suatu situasi untuk menguji perannya sebagai antecedents yang mengontrol suatu perilaku tertentu, atau sebagai consequences yang memperkuat terbentuknya perilaku tertentu.



Sumber : Modul 1 dari Dosen

Asesmen Perilaku : Sumber-Sumber Informasi untuk Asesmen

     Pentingnya data yang dikumpulkan melalui fase-fase dalam memodifikasi perilaku merupakan ciri yang menonjol dari pendekatan perilaku. Data akurat dan lengkap merupakan kunci keberhasilan suatu proses modifikasi perilaku, terutama dalam menentukan perilaku target. Dengan demikian perlu ditentukan prosedur yang tepat utnuk mengumpulkan data ini.
      Beberapa prosedur yang bisa dilakuakn utnuk pengumpulan data, dapat dikelompokkan ke dalam tiga prosedur.
  1. Prosedur pertama adalah penilaian tidak langsung. Penilaian tidak langsung dapat dilakukan dengan cara mewawancarai orang-orang terdekat dengan klien, misalnya orang tua, saudara-saudara klien, temen-temen, guru, dan orang-orang yang banyak berhubungan dengannya.Sumber informasi lain yang dapat diminta datanya adalah konselor profesional dari sekolah. Cra lain yang masuk kategori asesmen yang tidak langsung ini adalah kuesioner yang didesain khusus seperti misalnya life history, self report problem checklist dan role play.
  2. Prosedur kedua adalah penilaian langsung pada klien, dilakukan dengan cara melakukan observasi terhadap sampel perilaku yang diperlihatkan klien. Prosedur penilaian langsung ini memberikan data yang akurat karena ditampilkan langsung oleh klien, tetapi tentu saja kelemahannya adalah dari segi waktu yang harus disediakan lebih banyak. Dalam prosedur penilaian langsung ini beberapa hal yang menjadi sasaran untuk dinilai, adalah frekuensi dimunculkannya perilau tertentu, bagaimana pula dengan durasi munculnya perilaku tersebut, intensitas, dan kualitas.
  3. Prosedur penilaian eksperimen dilakukan dengan cara melakukan kontrol pada situasi yang ada pada klien (antecedent) untuk kemudian diamati perilaku apa yang akan dimunculkan (consequence). Prosedur ini disebut juga dengan analisis fungsional.
     Hal-hal yang perlu direkam dalam prosedur pengambilan data untuk asesmen perilaku adalah :
  1.  Topography
    Respon tertentu terhadap satu stimulus.
  2. Frekuensi
    Seberapa sering perilaku itu ditunjukkan atau dilakukan klien.
  3. Intensity
    Pengukuran intensitas atau kekuatan suatu respon.
  4. Stimulus Kontrol
    Variabel perilaku yang mendasari dan mengontrol munculnya suatu perilaku, sehingga digunakan untuk menentukan perilaku tertentu yang terjadi pada suatu situasi tapi tidak pada situasi lain..
  5. Latency
    Waktu antara stimulus yang diberikan dengan respons yang dilakukan.
  6. Quality
    Kecenderungan apakah perilaku tersebut mempunyai nilai fungsional atau tidak.
     Metode-metode yang sering digunakan untuk memperoleh data yang dibutuhkan untuk melakukan asesmen perilaku yaitu : 
  • Interview / Wawancara perilaku
  • Behavioral observation
  • Tes psikologis tertulis yang terstruktur
  • Tes tidak terstruktur/proyektif
  • life record/Self Report
       Observasi dan interview / wawancara sebagai metode pengumpulan data yang paling mendasar dan penting digunakan untuk menggali informasi yang berhubungan dengan masalah klien meskipun kedua metode itu mempunyai kelebihan dan kelemahan yang biasa juga dilengkapi dengan metode lain. Untuk itu dalam menggali data klien hendaknya fokus pada variabel anteseden, organismik, respon dan konsekuensi. Teknik yang digunakan dalam melakukan wawancara yaitu dengan : refleksi perasaan, klarifikasi, meringkas, pertanyaan terbuka dan tertutup serta memperhatikan isyarat nonverbal lain yang ditunjukkan oleh klien.



Sumber : Modul 1 dari Dosen

Jumat, 25 Oktober 2013

Mengembangkan Empati



Ada enam langkah dalam prosedur untuk menjadi petunjuk mengembangkan keterampilan empati, yaitu : 
1. Mengasumsikan Perbedaaan. 
Jika kita menerima bahwa kita bisa saja berbeda menghadapi konstuksi dan situasi yang berbeda, maka kita kan bebas membayangkan pikiran dan perasaan kita dari perspektif yang lain. Selama kita dapat menghubungkan perspektif dari hasil bayangan kita dengan perspektif orang lain yang sebenarnya, maka barulah kita dapatmelakukan empati. 
2. Mengenali Diri. 
Jika kita menyadari nilai, asumsi dan keyakinan individual secara kultural kita sendiri, yakni: bagaimana kita mendefinisikan identitas kita, maka kitatidak perlu takut kehilangan diri kita. Kita tidak akan kehilangan sesuatu yang dapat diciptakan kembali sekehendak kita. 
3. Menunda diri. 
Identitas yang dipertegas pada langkah langkah untuk sementara dikesampingkan. Salah satu cara memikirkan prosedur ini adalah membayangkan bahwa diri atau identitas adalah batas arbitrer yang kita tarik antara diri kita dengan dunia yang lain, termasuk orang lain. Penangguhan diri adalah perluasan batas ini secara sementara menghilangkan pemisahan antara diri dan lingkungan. Pusat perhatian pada langkah ini adalah bukan pada menunda ”isi” identitas (asumsi, nilai, perangkat perilaku,dan seterusnya). Tetapi, fokusnya terletak pada kemampuyan mengubah dan memperluas batas. 
4. Melakukan Imajinasi Terbimbing. 
Jika batas diri diperluas, perbedaan antara yanginternal dengan yang eksternal (subjektif dan objektif) dihapuskan. Dalam keadaan yang diperluas, kita dapat menggerakan perhatian kita ke dalam pengalaman peristiwa yang biasanya eksternal, bukan memusatkan perhatian kita kepada peristiwa tersebut. Geseran kesadaran ke dalam fenomena ini, yang biasanya tidak dihubungkan dengan diri, dapat disebut ”imajinasi”. Agar empati interpersonal yangcermat terjadi, kita harus membiarkan imajinasi kita dibimbing ke dalam pengalaman orang lain tertentu. 
5. Membiarkan Pengalaman Empati. 
Jika kita membiarkan imajinasi kita dibimbing ke dalam diri orang lain, kita sedang mengalami seakan akan orang itu adalah diri kita sendiri. Walaupun pengalaman ini imajinatif, intensitas dan ”realitasnya” tidak selalu lebih rendah dari pengalaman biasa kita. Intensitas pengalaman empati kita bahkan bisa lebih besar, sejajar dengan intensitas drama yang kadang kadang lebih besar dari kehidupan. 
6. Meneguhkan kembali Diri. 
Empati Interpersonal membiarkan penundaan identitas secara terkendali dan sementara untuk mencapai tujuan khusus, memahami orang lain. Jika tujuan ini tercapai, batas batas diri dapat ditegakkan kembali. Salah satu pengecualian diri ini mungkin saja berupa mempertahankan hubungan akrab di mana kita terlibat ” menjadi satu dengan orang lain”. Identitas diteguhkan kembali dengan, pertama tama, menciptakan lagi rasa keterpisahan antar diri kita dengan orang lain yang merupakan keadaan normal dalam kebudayaan kita. Jika perpisahan ini diperoleh kembali, isi pandangandunia kitasecara otomatis muncul lagidan dan dapat ditentukan pikiran dan perasaasn kita yang mana kepunyaan siapa. Mungkin jugaberguna mengontraskan reaksi simpati kita pada orang lain dengan pengertian empati. Dari kontar ini dapat muncul pengakuan yang jelas tentang perbedaan antar diri kita dan yang lain. Pengakuan ini yang memperkokoh perlunya empati.

 Sumber :
"Mengatasi Kaedah Emas Simpati dan Empati" (Milton J. Bennet)

Rabu, 23 Oktober 2013

Karakteristik Konselor



Dua pihak yang perannya sangat vital dalam proses konseling adalah klien dan konselor. Klien merupakan pihak yang mengharapkan bantuan dari proses konseling, sementara konselor adalah pihak yang membantu klien dalam proses tersebut. Secara umum tugas konselor adalah menjadi fasilitator bagi klien berbekal pemahaman dasar dan teknik konseling, sampai klien dapat menemukan dan mengatasi masalah yang dihadapi. Menurut Cavanagh (1982) ia mengemukakan bahwa kualitas pribadi konselor ditandai dengan beberapa karakteristik sebagai berikut :
  1. Pengetahuan Mengenai Diri Sendiri (Self-knowledge)
Disini berarti bahwa konselor mawas diri atau memahami dirinya dengan baik, dia memahami secara nyata apa yang dia lakukan, mengapa dia melakukan itu, dan masalah apa yang harus dia selesaikan. Pemahaman ini sangat penting bagi konselor, karena beberapa alasan sebagai berikut.
a)      Konselor yang memilki persepsi yang akurat akan dirinya maka dia juga akan memilki persepsi yang kuat terhadap orang lain.
b)      Konselor yang terampil memahami dirinya maka ia juga akan memahami orang lain.
  1. Kompetensi (Competence)
Kompetensi dalam karakteristik ini memiliki makna sebagai kualitas fisik, intelektual, emosional, sosial, dan moral yang harus dimiliki konselor untuk membantu klien. kompetensi sangatlah penting, sebab klien yang dikonseling akan belajar dan mengembangkan kompetensi-kompetensi yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang efektif dan bahagia. Adapun kompetensi dasar yang seyogianya dimilki oleh seorang konselor, yang antara lain :
a.       Penguasaan wawasan dan landasan pendidikan
b.      Penguasaan konsep bimbingan dan konseling
c.       Penguasaan kemampuan assesmen
d.      Penguasaan kemampuan mengembangkan progaram bimbingan dan konseling
e.       Penguasaan kemampuan melaksanakan berbagai strategi layanan bimbingan dan konseling
f.       Penguasaan kemampuan mengembangkan proses kelompok
g.      Penguasaan kesadaran etik profesional dan pengembangan profesi
h.      Penguasaan pemahaman konteks budaya, agama dan setting kebutuhan khusus
  1. Kesehatan Psikologis yang Baik
Seorang konselor dituntut untuk dapat menjadi model dari suatu kondisi kesehatan psikologis yang baik bagi kliennya, yang mana hal ini memiliki pengertian akan ketentuan dari konselor dimana konselor harus lebih sehat kondisi psikisnya daripada klien. Kesehatan psikolpgis konselor yang baik sangat penting dan berguna bagi hubungan konseling. Karena apabila konselor kurang sahat psikisnya, maka ia akan teracuni oleh kebutuhan-kebutuhan sendiri, persepsi yang subjektif, nilai-nilai keliru, dan kebingungan.
  1. Dapat Dipercaya (trustworthness)
Konselor yang dipercaya dalam menjalankan tugasnya memiliki kecenderungan memilki kualitas sikap dan prilaku sebagai berikut:
a)      Memilki pribadi yang konsisten
b)      Dapat dipercaya oleh orang lain, baik ucapannya maupun perbuatannya.
c)      Tidak pernah membuat orang lain kesal atau kecewa.
d)  Bertanggung jawab, mampu merespon orang lain secara utuh, tidak ingkar janji dan mau membantu secara penuh.
  1. Kejujuran (honest)
Yang dimaksud dengan Kejujuran disini memiliki pengertian bahwa seorang konselor itu diharuskan memiliki sifat yang terbuka, otentik, dan sejati dalam pembarian layanannya kepada konseli. Jujur disini dalam pengertian memiliki kongruensi atau kesesuaian dalam kualitas diri actual (real-self) dengan penilain orang lain terhadap dirinya (public self). Sikap jujur ini penting dikarnakan:
1) Sikap keterbukaan konselor dan klien memungkinkan hubungan psikologis yang dekat satu sama lain dalam kegiatan konseling.
2) Kejujuaran memungkinkan konselor dapat memberikan umpan balik secara objektif terhadap klien.
  1. Kekuatan atau Daya (strength)
Kekuatan atau kemampuan konselor sangat penting dalam konseling, sebab dengan hal itu klien merasa aman. Klien memandang seorang konselor sebagi orang yang, tabaha dalam menghadapi masalah, dapat mendorong klien dalam mengatasi masalahnya, dan dapat menanggulangi kebutuhan dan masalah pribadi.
Konselor yang memilki kekuatan venderung menampilkan kualitas sikap dan prilaku berikut.
a.       Dapat membuat batas waktu yang pantas dalam konseling
b.      Bersifat fleksibel
c.       Memilki identitas diri yang jelas
  1. Kehangatan (Warmth)
Yang dimaksud dengan bersikap hangat itu adalah ramah, penuh perhatian, dan memberikan kasih sayang. Klien yang datang meminta bantuan konselor, pada umumnya yang kurang memilki kehangatan dalam hidupnya, sehingga ia kehilangan kemampuan untuk bersikap ramah, memberikanperhatian, dan kasih sayang. Melalui konseling klien ingin mendapatkan rasa hangat tersebut dan melakukan Sharing dengan konseling. Bila hal itu diperoleh maka klien dapat mengalami perasaan yang nyaman.
  1. Pendengar yang Aktif (Active responsiveness)
Konselor secara dinamis telibat dengan seluruh proses konseling. Konselor yang memiliki kualitas ini akan: (a) mampu berhubungan dengan orang-orang yang bukan dari kalangannya sendiri saja, dan mampu berbagi ide-ide, perasaan, (b) membantu klien dalam konseling dengan cara-cara yang bersifat membantu, (c) memperlakukan klien dengan cara-cara yang dapat menimbulkan respon yang bermakna, (d) berkeinginan untuk berbagi tanggung jawab secara seimbang dengan klien dalam konseling.
  1. Kesabaran
Melaui kesabaran konselor dalam proses konseling dapat membantu klien untuk mengembangkan dirinya secara alami. Sikap sabar konselor menunjukan lebih memperhatikan diri klien daripada hasilnya. Konselor yang sabar cenderung menampilkan sikap dan prilaku yang tidak tergesa-gesa.
  1. Kepekaan (Sensitivity)
Kepekaan mempunyai makna bahwa konselor sadar akan kehalusan dinamika yang timbul dalam diri klien dan konselor sendiri. Kepekaan diri konselor sangat penting dalam konseling karena hal ini akan memberikan rasa aman bagi klien dan klien akan lebih percaya diri apabila berkonsultasi dengan konselor yang memiliki kepekaan.
  1. Kesadaran Holistik
Pendekatan holistik dalam bidang konseling berarti bahwa konselor memahami secara utuh dan tidak mendekatinya secara serpihan. Namun begitu bukan berarti bahwa konselor seorang yang ahli dalam berbagai hal, disini menunjukan bahwa konselor perlu memahami adanya berbagai dimensi yang menimbulkan masalah klien, dan memahami bagaimana dimensi yang satu memberi pengaruh terhadap dimensi yang lainnya. Dimensi-dimensi itu meliputi aspek, fisik, intelektual, emosi, sosial, seksual, dan moral-spiritual.
Konselor yang memiliki kesdaran holistik cenderung menampilkan karakteristik sebagai berikut.
a)      Menyadari secara akurat tentang dimensi-dimensi kepribadian yang kompleks.
b)      Menemukan cara memberikan konsultasi yang tepat dan mempertimbangkan perlunya referal.
c)      Akrab dan terbuka terhadap berbagai teori.
Analisis
Apabila hal-hal akan karakteristik konselor ini di refleksikan terhadap diri sendiri sebagai calon konselor, yang mana tentunya mau tidak mau diharuskan memenuhi berbagai macam karakteristik tersebut. Maka di dapat beberapa refleksi diri terhadap karakteristik konselor tersebut yang antara lain:
a.       Pengetahuan akan diri sendiri, dalam hal ini saya kurang labih memiliki pengetahuan diri sendiri sebesar 60 persen, akan tetapi saya bingung antara pengetahuan akan diri dengan keinginan diri.
b.      Kompetensi, disini saya diperkirakan telah memiliki kompetensi yang saya yakini sebesar 30 persen dari keseluruhan potensi yang ada.
c.       Kesehatan psikologis yang baik, sebsesar 70 persen saya yakin bahwa memiliki kesehatan psikologis yang baik.
d.      Dapat dipercaya, meduduki persentase sebesar 87 persen,
e.       Kejujuran, dapat dikatakan kejujuran ini 85,1 persen,
f.       Sedangkan apa bila dilihat dari segi pendengar aktif, kesabaran serta kepekaan terhadap situasi konseling memiliki keyakinan sebesar 50 persen.
Kesimpulan
Meskipun terdapat berbagai karakteristik yang harus dipenuhi untuk mencapainya proses konseling yang baik, disarankan seorang calon konselor untuk dapat selalu membenahi dan memperbaiki dirinya kearah yang labih baik dan lebih mendekatkan diri pada yang maha kuasa serta memperkuat ilmu agama agar konseling yang dilaksanakan lebih berjalan dengan baik serta sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada dalam agama. Selain itu, karakteristik konselor dapat mendorong timbulnya public trust terhadap diri seorang konselor.
Referensi:
  • Surya, Mohamad. (2003). Psikologi Konseling. Bandung: C.V. Pustaka Bani Quraisy
  • Syamsu, Yusuf, Juntika. 2005Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Rosda
  • Juntika, Ahmad. 2005. Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Refika Aditama


Selasa, 22 Oktober 2013

Asesmen Perilaku : Fase-fase dalam Proses Modifikasi Perilaku

Proses modifikasi perilaku yang berhasil paling tidak melalui fase-fase berikut ini :
  1. Skrining atau intake phase,
  2. Baseline,
  3. Tritmen, dan
  4. Tindak lanjut.   
      Untuk memperjelas pemahaman mengenai asesmen ini baik kiranya diamati terlebih dahulu aktivitasnya yang dilakukan pada setiap fase dari program modifikasi perilaku.

  1. Skrining atau intake phase
          Istilah fase intake biasanya dikenakan pada tahap awal dari proses pertemuan seorang klien dan trapis. Pada fase ini terapis memberi kesempatan pada klien untuk mnegisi formulir yang disediakan ataupun hanya wawancara umum dengan maksud agar terapis memperoleh informasi mengenai nama, alamat, usia, status perkwainan, dll. Pada fase ini, terapis juga dapat mengumpulkan informasi awal mengenai hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang mendorong klien datang menemui terapis.
         Fase ini sering disebut skrining karena fase ini berfungsi untuk memberi kesempatan pada terapis untuk menimbang apakah klien telah datang kepada terapis atau biro yang tepat untuk masalah yang dialaminya. Fungsi kedua, terapis atau biro tersebut dapat menginformasikan layanan-layanan yang diberikan, serta kode etik profesi. Fungsi ketiga, mendeteksi apakah klien yang datang masuk kategori krisis (misalnya dorongan bunuh diri atau penyalah gunaan obat) sehingga membutuhkan tindakan segera atau tidak. Bagi terapis tertentu, skrining ini memiliki fungsi keempat yaitu mengumpulkan data melalui tes-tes psikologi yang dapat digunakan untuk memperkuat diagnosa. Fungsi kelima dari fase skrining ini adalah untuk menentukan perilaku mana yang perlu diukur baselinenya.
  2. Fase Baseline
           Fase baseline adalah fase penilaian awal terhadap awal terhadap perilaku klien, yang merupakan sampel dari perilaku target. Fase ini dilakukan dengan beberapa kali pengukuran terhadap sampel perilaku tersebut pada situasi-situasi yang berbeda. Pengukuran dihentikan apabila hasil pengukuran sudah menunjukkan hasil yang konsisten.
          Selama fase baseline, terapis menilai seberapa jauh gap antara sampel perilaku yang ditunjukkan klien dengan perilaku target untuk menentukan level perilaku yang saat ini dimiliki klien. Pada fase ini, terapis juga melakukan pengamatan dan penilaian terhadap lingkungan tempat di mana klien hidup sehari-hari sehingga dapat mengumpulkan informasi mengenai faktor-faktor apa saja yang mungkin potensial mendukung atau menghambat proses modifikasi perilaku terhadap klien. Setelah diamati, terapis dapat diprediksi variabel apa saja perlu dikontrol untuk mencapai tujuan program modifikasi perilaku.
  3. Fase Tritmen
           Setelah baseline dilakukan, terapis memperoleh data yang lebih lengkap mengenai klien. Idealnya, pada saat ini terapis mulai merancang program modifikasi perilaku yang tepat bagi klien. Pada masalah-masalah kesulitan belajar, umunya program dalam bentuk pelatihan atau program pengajaran. Untuk masalah-masalah klinis atau komunitas, program yang lebih sering diusulkan adalah terapis atau intervensi komunitas.
            Dalam modifikasi perilaku, beberapa metode dapat disarankan pada beberapa klien dengan masalah-masaslah tertentu. Namun demikian selama metode diterapkan, sebagaimana pendekatan perilaku lainnya asesmen tetap terus menerus dilakukan.
  4. Fase Tindak Lanjut
           Fase tindak lanjut dilakukan untuk mengevaluasi mengenai keberlangsungan suatu perubahan perilaku tertentu. Bila perubahan tersebut dapat bertahan selama periode tertentu mengikuti perubahan perilaku yang terjadi setelah klien dikenai metode modifikasi perilaku, maka dapar disimpulkan bahwa metode tersebut efektif. Sebaliknya, bila perubahan itu tidak permanen maka dapat dikatakan bahwa problem yang sesungguhnya tidak terpecahkan secara tuntas.



    Sumber = Modul 1 dari Dosen

Asesmen Perilaku : Teknik Asesmen

Teknik Asesmen
          Teknik asesmen yang sangat populer digunakan dalam modifikasi perilaku adalah Analisis Fungsional atau yang disebut juga dengan asesmen fungsional.
          Berikut adalah langkah-langkah dalam memahami karakteristik modifikasi perilaku atau perubahan tingkah laku yaitu :
  1. Fokus pada perilaku
    Prosedur modifikasi perilaku didesain untuk mengubah perilaku, bukan karakteristik pribadi atau sifat. Di dalam modifikasi perilaku, perilaku yang akan dimodifikasi disebut dengan sebagai perilaku target (target behavior). Ada dua bentuk target perilaku dalam modifikasi perilaku:
    • Behavioral Exceses adalah perilaku target yang negatif (tidak layak) yang ingin dikurangi frekuensi, durasi, atau intensitasnya.
      Contohnya : Perilaku merokok, menggigit jari, pobia, obsesif kompulsif, dll.
    • Behavioral Deficit adalah target perilaku yang positif (layak) yang ingin ditingkatkan frekuensi, durasi, atau intensitasnya.
      Contoh : Perilaku gemar membaca, perilaku peduli fan empati terhadap sesama, rajin sholat, dll.
  2. Prosedur yang digunakan berdasarkan pada prinsip behaviour (behavioral principles).
    Bahwa perubahan perilaku mempunyai hubungan fungsional dengan lingkungan yang dapat disimbulkan sebagai berikut :
    A --> B --> C
    A = antecedent
    B = behavior
    C = concequences
           Artinya adalah bahwa perilaku dibangkitkan oleh faktor antecedent yang kemudian akan menimbulkan konsekeunsi kepada lingkungannya. Perubahan perilaku dapat dilakukan dengan beberapa teknik seperti : reinforcement, punisment, extinction, stimulus control (generalization-discrimination), relaksasi, token ekonomi, flooding, desensitisasi sistematis, cognitive behavior, non-cognitive behavior, self-management/self-control, ketrampilan sosial, assertive training dan teknik lainnya.


    Sumber : Modul 1 dari Dosen