expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Senin, 11 Mei 2015

“Karl Marx: Agama, Mendera Manusia dengan Penderitaan atas Nama Tuhan”

MAKALAH

“Karl Marx: Agama, Mendera Manusia dengan Penderitaan
 atas Nama Tuhan”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Sosiologi Agama
Dosen  : Muhammad Fahmi, M.SI.

                                                                                                                                                                                                      









Oleh :
Buyung Kahayunan P.           (121221014)
Deva Larasati                         (121221019)
Diah Astuti S. R.                    (121221020)
Endhofari                               (121221023)
Rifa’atul Mahmudah              (121221056)


JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA

2014


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Pernyataan seperti itu adalah dalam batas kewajaran sejarah, dimana latar belakang seorang  anak manusia akan sangat mempengaruhi apa yang ia kata dan buat dalam rentang waktu sejarah selanjutnya. Ketika sebuah perguruan tinggi Islam diharapkan akan melahirkan para intelektual yang arif dan alim, maka tidak mungkin untuk adanya pelarangan terhadap berbagai ragam ilmu  yang mesti diakses oleh seorang mahasiswa, baik dari pengajaran maupun bacaan. Bukan tidak mungkin kemudian akan mempunyai implikasi social secara nyata terhadap tingkah laku mahasiswa, termasuk didalam pikiran Marx. Pengaruh tersebut sebenarnya bukan hanya dari ajaran Mark saja, namun dari berbagai bacaan lainnya.
Makalah ini bertujuan untuk memahami kritik Karl Marx terhadap (pengguna) agama yang dituangkan dalam pemikirannya yakni agama sebagai alienasi dan candu bagi manusia.

B.       Rumusan Masalah
a.       Bagaimana latar belakang Karl Marx ?
b.      Apa yang dimaksud dengan agama adalah candu, perspektif Karl Marx ?
c.       Bagaimana kritik Karl Marx terhadap agama ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Latar Belakang Karl Marx

Karl marx, sebuah nama yang mengguncang dunia Barat kala itu, atau mungkin sampai sekarang. Pemikiran-pemikirannya tertuang dalam hiruk pikuk kegelisahan akademik dirinya. Ia mengusung paham kapitalisme dalam dunia perekonomian. Ia pun mendobrak paham-paham dan doktrin-doktrin tentang agama. Ia seorang pemikir yang gelisah tetapi peduli terhadap kehidupan orang di sekitarnya. Dia dilahirkan di kota Trier, perbatasan Barat Jerman yang pada waktu itu termasuk Prussia pada tanggal 5 Mei 1818. Karl Marx merupakan seorang keturunan Yahudi, ayahnya seorang pengacara yang beberapa tahun setelah kelahiran Marx berpindah agama ke agama Kristen Protestan (padahal kota Treir mayoritas Katolik, kemungkinan agar ia dapat menjadi pegawai negeri atau notaris di Prussia yang berhaluan Protestan). Sesudah lulus dari Gymnasium di Treir, ayahnya dengan harapan agar anaknya dapat mengikuti karir sang ayah meyuruh karl studi hukum di Universitas Bonn. Namun Marx sendiri lebih tertarik menjadi penyair. Dan pada akhirnya tanpa menunggu izin ayahnya, karl pindah ke Berlin dan mulai belajar filsafat.
 Pemikiran orang besar kelahiran Jerman ini banyak dipengaruhi oleh Hegel, hal ini dikaitkan dengan latar pendidikan yang ditempuh Marx selama di Univeritas Berlin berada dalam doktrinal George Wilhelm Friedrich von Hegel. Selama dalam proses pendidikannya di samping tugasnya sebagai seorang murid, Marx juga banyak mengkritisi pernyataan bahkan teori-teori yang dikemukakan oleh Hegel sehingga dengan kekritisannya itu ia dikenal sebagai Young Hegelians (Pals, 2001: 21)
Marx muda yang gusar dengan situasi di Prussia menemukan kelompok yang menggeluti filsafat Hegel. Dan menjadikannya sebagai senjata yang kritis dan radikal, kelompok ini bernama Doktorclub. Kelompok itu yang tak lain merupakan kaum hegelial muda, memakai filsafat hegel sebagai alat kritik untuk mengkritik kekolotan negara Prussia. Dengan penekanan pada rasionalitas dan kebebasan, filsafat hegel tampak sebagai sarana yang sangat cocok untuk mengkritik sistem-sistem politik Negara Prussia yang otoriter. Hegel diartikan sebagai guru revolusi. Namun tidak berlangsung lama, karena kemudian marx merasa tidak puas dengan terhadap kecenderungan teoritis dari kelompok ini.
Marx malanjutkan studinya di Universitas Jena dan meraih gelar Doktornya (1841), dalam usia 23 tahun, dengan sebuah disertasi berjudul “Perbedaan Filsafat Alam Demokritos dan Epikuros”. Setelah lulus promosi, marx pindah ke Koln dan menjadi pemimpin redaksi harian Die Rheinische Zitung, sebuah Koran liberal progresif. Karena mendapat kesulitan terus menerus dari sensor pemerintah Prussia, Marx terpaksa melepaskan jabatannya pada tahun 1843 (namun korannya tetap dilarang) dan pindah ke Paris. Ia menikah dengan Jenny Von Westphalen, putrie seorang bangsawan. Dalam tahun ini Marx mulai menulis sebuah Criticue Hegel’s Philosophy of Right (yang baru dipublikasikan abad ini). Serta dua karangan yang dimuat dlam sebuah majalah, yaitu Criticue Hegel’s Philosophy of Right, Introduction dan On The Jewish Question.  Tiga tulisan penting itu memperlihatkan sebuah perkembangan baru desertasinya. Ia telah membaca karya utama Ludwig Feurbach The Essence of Christianity.
Secara fundamental Marx menyatakan bahwa sejak kemunculan pertama di dunia, makhluk manusia tidak dimotivasi oleh ide-ide besar, tetapi oleh kepentingan materi yang sangat dasar, kebutuhan dasar  untuk kelangsungan hidup. Dan ini merupakan suatu fakta tentang gerakan atas pandangan materialis tentang dunia bahwa setiap manusia membutuhkan makanan, pakaian dan tempat berteduh, maka setelah kebutuhan ini sudah terpenuhi kepentingan lain seperti  dorongan seni, seks dan lainnya masih melakukan proses penciptaan kebutuhan dan tuntunan materi yang lain. Dan semuanya ini dapat dipenuhi dengan mengembangkan apa yang disbeut sebagai suatu cara produksi.

B.       Agama adalah Candu

Dalam ungkapan Karl Marx yang mengatakan bahwa, “agama itu candu” tidak bisa dimaknai secara langsung berdasarkan susunan kata-kata tersebut. Seharusnya menimbang dan melihat kondisi pada saat itu. Memang untuk dunia di awal abad 19 kondisi agama pada saat itu tidak banyak berubah dari sebelumnya, agama (terutama Kristen pada saat itu) sering dijadikan kendaraan politik, alat kekuasaan untuk menindas dan membohongi publik.
Agama tampak membunuh kesadaran manusia dan menghalangi manusia untuk maju. Bahkan sisa-sisa fanatisme beragama sampai saat ini pun masih dapat kita rasakan. Anehnya agama begitu digandrungi tanpa alasan, walaupun efeknya secara sosial jelas tampak buruk. Maka tak salah fenomena ketidaksadaran manusia yang diakibatkan oleh doktrin agama oleh Karl Marx disebut sebagai ”Candu” (sesuatu yang membuat mabuk dan ketagihan).
Raja Jaya Baya, juga mengatakan bahwa kelak akan ada banyak orang mabuk agama (dalam ungkapan bahasa jawa, ”Akeh wong mendem dongo”). Yang artinya banyak orang yang berdoa (ibadah) tapi tak mengerti apa arti doannya, banyak orang shalat tapi tak mengerti apa arti shalatnya. Oleh Jaya Baya diungkapkan sebagai ”Mendem dongo,” artinya “Mabuk doa”, dan itu senada dengan mabuk agama, kecanduan agama yang  sama diungkapkan oleh Karl Marx. Fenomena ketidaksadaran inilah yang melanda masyarakat kita. Agama bukan malah membuka kesadaran manusia namun menutupi kesadaran. Sehingga melihat fenomena itu, apa yang diungkapkan Karl marx tidak salah, “Agama adalah candu”.
Karl Marx terkenal karena ucapannya bahwa “agama adalah candu rakyat”. Kalimat ini sering diartikan seakan-akan Marx menuduh agama, menyesatkan dan menipu rakyat. Dan memang, dari retorika Marxis kemudian, ucapan Marx itu sering dipakai dalam arti tuduhan, bahwa agama dengan menjanjikan kebahagiaan di alam sesudah kehidupan, membuat orang miskin dan tertindas menerima saja nasib daripada memberontak terhadapnya. Hal itu lebih lagi berlaku bagi Lenin yang menulis bahwa “agama adalah candu bagi rakyat”, jadi agama dengan licik diciptakan kelas-kelas atas untuk menenangkan rakyat tertindas.
Akan tetapi bukan itulah yang dimaksud Marx (Magnis-Suseno, 1999: 46). Ia tidak membicarakan apakah fungsi agama dalam masyarakat adalah positif atau negatif. Melainkan ucapannya itu menanggapi kritik agama Feurbach. Marx setuju dengan kritik itu. Tetapi menurut Marx, Feurbach berhenti di tengah jalan. Betul, agama adalah dunia khayalan di mana manusia mencari dirinya sendiri. Tetapi, Feurbach tidak bertanya mengapa manusia melarikan diri ke khayalan daripada mewujudkan diri dalam kehidupan nyata. Jawaban yang diberikan Marx adalah: Karena kehidupan nyata, dan itu berati: struktur kekuasaan dalam tidak mengizinkan manusia untuk mewujudkan kekayan hakekatnya. Manusia melarikan diri ke dunia khayalan karena dunia nyata menindasnya.
Dari fakta dan pemikiran-pemikiran Marx dapat diketahui bahwa yang menjadi objek kritik Marx ialah orang yang menjalankan agama, bukanlah agama itu sendiri. Karena manusia merupakan faktor independen yang melatarbelakangi terciptanya agama yang merupakan faktor dependen, atau sesuatu yang dipengaruhi. Sebagaimana candu, semakin banyak dikonsumsi maka semakin menggerogoti jiwa pecandunya. Namun selalu ada keinginan yang kuat dan hasrat tak tertahankan untuk seallu menkonsumsi candu. Seperti itulah agama menurut Marx.
Dalam pada itu, yang dikritik oleh Marx pun merupakan pemahaman manusia terhadap agama itu sendiri yang pada akhirnya direalisasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.
Pertanyaan yang terbesit dalam benak tentu tentang kebenaran teori Marx ini sebagai refleksi kegundahan hatinya melihat keadaan sekitarnya, dan benarkah bahwa manusia agar ia dapat mengembangkan diri sebagai mahkluk yang sosial dan politik harus berhenti tunduk terhadap Allah? Jika pemikiran Marx ini dipandang sebelah mata tentu sudah jelas bahwa dua pengandaian Marx ini tidak benar, haus kelihatan dari praxis agama. Agama bukan pelarian apabila agama justru memberdayakan para penganutnya untuk membangun masyarakat yang solider dengan mereka yang mskin dan lemah, masyarakat yang positif, damai saling menghormati, serta melawan ketidakadilan dan penindasan mereka yang tidak berdaya. Dan profil para agamawan harus memperlihatkan bahwa mencari Allah bukan hanya tidak mengasingkan manusia dari dirinya sendiri, melainkan justru akan mengembangkan identitas dan hakekatnya yang positif. Menjawab panggilan Sang Pencipta memang tidak mungkin mengasingkan ciptaan dari hakekatnya, tetapi hal itu hanya akan meyakinkan apabila kaum agamawan adalah manusia-manusia yang terbuka, positif, toleran, yang memperhatikan saudara dan solider, yang mencintai keadilan dan melawan ketidakadilan tanpa menjadi keras di dalam hati.
Akan tetapi, jika dilihat secara komprehensif dan melihta latar belakang serta metodologi dan kerangka berpikirnya, ia tidak bermaksud menjastifikasi semua agama negatif, pun yang ia kritik pada dasarnya bukanlah agama itu sendiri, melainkan manusia atau penggunanya.
Tidak semua agama, memang, yang dianggap seperti itu oleh Marx, meskipun kebanyakan orang menganggapnya sebagai paham dan pemikiran untuk semua agama. Berdasarkan latar belakang Marx dan alasan yang diberikan Marx mengenai mengapa manusia selalu pergi ke dunia khayalan, yang tidak lain adalah agama dan segala aspeknya, agama yang dianggap candu oleh Marx adalah agama yang tidak bisa dirasionalisasikan. Semuanya berbau khayalan dan mistik. Tidak membawa kemajuan terhadap dunia nyata seperti perekonomian, kesejahteraan rakyat, kemakmuran, sopan santun, dan lain sebagainya yang menyangkut aspek materi.
Semakin manusia “mengkonsumsi” agama, maka ia akan semakin gila, atau bahkan ia sudah lebih gila sebelumnya. Itulah yang selama ini diungkapkan oleh Marx. Manusia tidak mempedulikan perihal-perihal materi yang sudah tentu hadir dalam kehidupan nyata. Manusia hanya terlena dengan khayalan-khayalan mereka tentang agama dan kehidupan akhirat, hikmah-hikmah, dan mistik.
Agama, seperti candu, menghancurkan, menjerumuskan dan merusak tatanan kehidupan manusia di muka bumi dengan janji-janji yang tidak rasional. Orang-orang yang terpuruk di dunia nyata, misal dalam hal ekonomi maupun kesejahteraan hidup lainnya, selalu melarika diri kepada agama. Mereka mencari ketenangan dalam agama, seakan agama akan memberikan kesejahteraan dan uang yang banyak, padahal tidak. Orang hanya akan semakin ketergantungan dengan agama.
“Agama sebagai candu atau alienasi (pengasingan)” menuruk Marx merupakan refleksi dari keadaan manusia yang tidak menjadi diri sendiri, manusia yang menjadi objek Tuhan sehingga ia tidak memiliki otonomi terhadap diri sendiri tetapi malah menggantungkan dirinya pada agama yang justru diciptaka oleh manusia. Ia tunduk terhadap agama, ia kehilangan dirinya, tidak bisa menguasai diri untuk meraih apa yang diinginkannya. Manusia tidak mengobjektifkan dirinya.
Pemahaman seperti ini, menurut hemat penulis, tidak lepas dari pemikiran Marx mengenai teori ekonomi dan politik. Ia menggiring prinsip-prinsip agama kepada prinsip-prinsip ekonomi dan politik sehingga pemikiran kapitalis lah buahnya.
Manusia terasing dari diri sendiri, tidak memiliki otonomi terhadap dirinya. Ia bekerja di luar dirinya, dan tidak menjadi dirinya. Doktrin agama sebagai pengasingan ini merupakan bentuk protes Marx terhadap agama dan keinginannya untuk mendekonstruksi agama. Manusia-manusia yang putus asa dari kiprahnya di kehidupan nyata memalingkan dirinya dari dunia kepada agama. Sungguh fenomena yang mengganjal dan tidak layak dilakukan oleh manusia, menuru Marx. Agama benar-benar telah menjadi candu yang mengasingkan manusia dari kemestian dirinya sebagai manusia.
Bentuk agama sebagai candu dan alienasi yang dikemukakan Marx tercermin dalam realitas kehidupan manusia sendiri, yakni manusia memproyeksikan dirinya kepada Tuhan dan tidak pernah melihat hakikat dirinya. Diktrin Marx ini ingin menafikan agama berikut aspek-aspeknya dalam kehidupan manusia.
Seperti apa yang dikemukakan Daniel L. Pals bahwa ada dua hal yang harus diperhatikan sejak awal berkenaan dengan Karl Marx. Pertama, bentuk komunisme, Marx hanya memberikan suatu teori tentang agama, bukan sebuah pemikiran total yang dengan sendirinya menyerupai sebuah agama. Dan yang lebih penting apa yang dihadirkan Marx dalam pemikirannya bukanlah suatu catatan tentang agama secara umum melainkan suatu analisis tentang agama Kristen dan agama lainnya yang serupa dengan menekankan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa  dan eskatologi. Sehingga dalam pemikirannya hanya pemikiran Kristen yang semula memberikan pengaruh atas modal dasar teori yang telah dicetuskannya itu ketika ia mengemukakan bahwa agama sebagai pelarian orang miskin dari penderitaan dan penindasan ekonomi. Kedua, filsafat Marx begitu jauh jangkauannya, apa yang ia tawarkan sebagai suatu “teori” tentang agama tradisional merupakan bagian yang agak kecil dan tidak mesti sentral dari pemikirannya.
Ketidakpercayaannya terhadap agama, Marx melihat agama sebagaimana halnya Sigmund Frued yang melihat agama melalui analisa individual neurotik begitu pula dengan Emile Durkheim melalui analisa sosialnya, maka Marx pun menganalisa agama melalui ekonomi dan politiknya sebagai alur pendekatan fungsional. Dengan pendekatan tersebut menjadi suatu keberhasilan Marx dalam melihat agama melalui sudut pandang kaitannya dengan ekonomi sehingga membawa Marx pada reduksionisme yang khas (Pals, 2001: 242-243).  
Teori Marx mengenai agama sebagai alienasi dan candu ini mengungkapkan bahwa penderitaan manusia adalah tempat kehadiran Tuhan. Paham ini mendobrak paham manusia tentang otonom iagama yang mengekang kebebasan diri dan menghindari agama serta tetap dalam aturan diri sendiri sebagai fitrah manusia untuk berkiprah.
Agama hanya untuk diikuti, tidak untuk diprotes. Manusia hanya boleh tunduk kepada agama, tidak boleh membantah. Hal inilah yang menjadi keresahan Marx karena disini manusia tidak dapat merealisasikan dirinya sendiri dalam kehidupan ini. Manusia terus dikekang oleh agama, tetapi manusia selalu bergantung padanya sehingga menimbulkan kekacauan, kehancuran, dan kerusakan tatanan kehidupan.

C.      Kritik Karl Marx terhadap Agama

Membahas tentang ideoogi dan superstruktur pada akhirnya akan menggirirng kita ke dalam pembicaraan tentang agama. Inti pandangan Marx dalam konteks ini kadangkala membicarakan agama dalam ungkapan yang baik sekali, namun dalam kesempatan lain berubah sangat kasar dan kejam. Menurrutnya agama adalah sebuah ilusi. Rasa takut adalah sebuah ilusi dengan konsekuensi yang sangat menyakitkan. Agama adalah bentuk ideologi yang paling ekstrem dan paling nyata, maksudnya agama merupakan sebuah system kepercayaan yang tujuan utamanya adalah dapat memberikan alasan dan hukum-hukum, agar seluruh tatanan dalam masyarakat bisa berjalan sesuai dengan keinginan penguasa.
Marx menegaskan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan atau dewa-dewa adalah lambing kekecewaan atas kekalahan dalam perjuangan kelas. Kepercayaan tersebut adalah sikap memalukan yang harus dienyahkan, bahkan dengan cara paksaan. Marx mempunyai motto, “Aku benci semua dewa”. Alasan Marx adalah dewa-dewa tersebut tidak mengakui bahwa kesadaran diri manusia adalah derajat keTuhanan tertinggi .
Sebenarnya penolakan Marx terhadap agama satu sisi yang berbeda dengan kampanye intelektual yang dilancarkannya agar semua orang menelanjangi keburukan agama. Sampai tahun 1840-an Marx belum menulis suatu gagasan detail tentang apa yang disebutnya kritik terhadap agama. Baru setelah melewati periode yang paling penting dalam pemikirannya (setelah membaca tulisan Ludwich Feuerbach-seorang materialis penganut Hegelian muda di Berlin) kenyataan menjadi lain. Menurut Feurbach paham Hegelian dan teorlogi Kristen sama-sama melakukan kesalahn yang serupa. Keduanya sama-sama membicarakan tentang Tuhan atau yang absolut padahal yang sebenarnya mereka bicarakan adalah kemanusiaan itu sendiri. Hegel pun punya pemikiran yang tidak jauh berbeda. Dia mengedepankan ide-ide abstrak seperti kebebasan, kebaikan, rasio, semua .itu dengan cara mengklaimnya sebagai ekspresi dari sesuatu yang absolut, dan tak terlihat, dan dialah yang mengatur dunia nyata ini. Hal ini sama kelirunya dengan anggapan teologi Kristen tadi, konsep rasio dan kebebasan seharusnya digambarkan sebagai bagian alamiah manusia itu sendiri. Teologi Kristen dan filsafat hegel adalah contoh dari bentuk kesalahan alienasi kesadaran manusia.
Setelah membaca argumentasi Fruerbach, Marx sepenuhnya sepakat dengannya. Pandangan Freurbach tersebut kemudian diadopsi oleh Marx. Kemudian kritik Marx terhadap agama (Tuhan) adalah karena sesungguhnya manusialah yang menciptakan agama, bukan agama (tuhan) yang menciptakan manusia.
Marx menilai argument Fruerbach masih mengandung kelemahan. Yaitu, jika mempermasalahkan kenapa manusia tidak mau memanfaatkan potensi dalam diri mereka sendiri sehingga mereka bersiteguh mengatakan diri mereka penuh dosa dan mau mengabdikan seluruh hidup kepada Tuhan? Fruerbach cenderung menjawab pertanyaan tersebut bahwa kondisi itu sudah takdir manusia untuk teralienasi-mendera diri dengan penderitaan atas nama Tuhan. Marx menegaskan bahwa kita harus menarik garis parallel antara agama dan aktivitas sosio ekonomi. Keduanya sama-sama menciptakan alienasi, agama merampas potensi-potensi ideal kehidupan alami manusia dan mengarahkannya pada realitas asing dan unnatural yang kita sebut Tuhan, ekonomi kapitalis merampas hal yang lain dari ekspresi alami manusia.  


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan

      Agama tampak membunuh kesadaran manusia dan menghalangi manusia untuk maju.Bahkan sisa-sisa fanatisme beragama sampai saat ini pun masih dapat kita rasakan. Anehnya agama begitu digandrungi tanpa alasan, walaupun efeknya secara sosial jelas tampak buruk. Maka tak salah fenomena ketidaksadaran manusia yang diakibatkan oleh doktrin agama oleh Karl Marx disebut sebagai ” Candu ”( Sesuatu yang membuat mabuk dan ketagihan ).
Kejahatan yang tidak bisa diampuni adalah bila kita pasrah kepada ketidakadilan dengan dalih bahwa ia lemah atau tertindas di dunia. Al-Qur’an menggunakan istilah menganiaya diri sendiri atau berdosa terhadap jiwa mereka sendiri, untuk menjelaskan orang yang menerima suatu posisi yang lebih rendah dari pada kedudukan yang diinginkan Tuhan bagi semua orang dan menyerukan kepada mereka untuk bekerja dengan segala daya dan upaya mereka untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.


DAFTAR PUSTAKA


Daniel L. Pals. 2012. Seven Theories of Religion. Jogjakarta: IRCiSoD. 

Djamanuri. 1992. Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: Rajawali Pers.

Magnis, Frans. & Suseno. 1999. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


Internet

2 komentar: