MAKALAH
“Karl Marx: Agama,
Mendera Manusia dengan Penderitaan
atas Nama Tuhan”
Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Sosiologi
Agama
Dosen : Muhammad Fahmi, M.SI.
Oleh
:
Buyung
Kahayunan P. (121221014)
Deva Larasati (121221019)
Diah
Astuti S. R. (121221020)
Endhofari (121221023)
Rifa’atul
Mahmudah (121221056)
JURUSAN BIMBINGAN
KONSELING ISLAM
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pernyataan seperti itu adalah dalam
batas kewajaran sejarah, dimana latar belakang seorang anak manusia akan sangat mempengaruhi apa
yang ia kata dan buat dalam rentang waktu sejarah selanjutnya. Ketika sebuah
perguruan tinggi Islam diharapkan akan melahirkan para intelektual yang arif
dan alim, maka tidak mungkin untuk adanya pelarangan terhadap berbagai ragam
ilmu yang mesti diakses oleh seorang mahasiswa,
baik dari pengajaran maupun bacaan. Bukan tidak mungkin kemudian akan mempunyai
implikasi social secara nyata terhadap tingkah laku mahasiswa, termasuk didalam
pikiran Marx. Pengaruh tersebut sebenarnya bukan hanya dari ajaran Mark saja, namun
dari berbagai bacaan lainnya.
Makalah ini bertujuan untuk memahami
kritik Karl Marx terhadap (pengguna) agama yang dituangkan dalam pemikirannya
yakni agama sebagai alienasi dan candu bagi manusia.
B.
Rumusan Masalah
a. Bagaimana
latar belakang Karl Marx ?
b. Apa
yang dimaksud dengan agama adalah candu, perspektif Karl Marx ?
c. Bagaimana
kritik Karl Marx terhadap agama ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Karl Marx
Karl marx, sebuah nama yang
mengguncang dunia Barat kala itu, atau mungkin sampai sekarang.
Pemikiran-pemikirannya tertuang dalam hiruk pikuk kegelisahan akademik dirinya.
Ia mengusung paham kapitalisme dalam dunia perekonomian. Ia pun mendobrak
paham-paham dan doktrin-doktrin tentang agama. Ia seorang pemikir yang gelisah
tetapi peduli terhadap kehidupan orang di sekitarnya. Dia dilahirkan di kota Trier, perbatasan Barat Jerman
yang pada waktu itu termasuk Prussia pada tanggal 5 Mei 1818. Karl Marx merupakan
seorang keturunan Yahudi, ayahnya seorang pengacara yang beberapa tahun setelah
kelahiran Marx berpindah agama ke agama Kristen Protestan (padahal kota Treir
mayoritas Katolik, kemungkinan agar ia dapat menjadi pegawai negeri atau notaris
di Prussia yang berhaluan Protestan). Sesudah lulus dari Gymnasium di Treir,
ayahnya dengan harapan agar anaknya dapat mengikuti karir sang ayah meyuruh
karl studi hukum di Universitas Bonn. Namun Marx sendiri lebih tertarik menjadi
penyair. Dan pada akhirnya tanpa menunggu izin ayahnya, karl pindah ke Berlin
dan mulai belajar filsafat.
Pemikiran orang besar kelahiran Jerman ini banyak dipengaruhi oleh Hegel, hal ini dikaitkan dengan latar pendidikan
yang ditempuh Marx selama di Univeritas Berlin berada dalam doktrinal George
Wilhelm Friedrich von Hegel. Selama dalam proses pendidikannya di samping
tugasnya sebagai seorang murid, Marx juga banyak mengkritisi pernyataan bahkan
teori-teori yang dikemukakan oleh Hegel sehingga dengan kekritisannya itu ia
dikenal sebagai Young Hegelians (Pals, 2001: 21)
Marx muda yang gusar dengan situasi
di Prussia menemukan kelompok yang menggeluti filsafat Hegel. Dan menjadikannya
sebagai senjata yang kritis dan radikal, kelompok ini bernama Doktorclub.
Kelompok itu yang tak lain merupakan kaum hegelial muda, memakai filsafat hegel
sebagai alat kritik untuk mengkritik kekolotan negara Prussia. Dengan penekanan
pada rasionalitas dan kebebasan, filsafat hegel tampak sebagai sarana yang
sangat cocok untuk mengkritik sistem-sistem politik Negara Prussia yang
otoriter. Hegel diartikan sebagai guru revolusi. Namun tidak berlangsung lama,
karena kemudian marx merasa tidak puas dengan terhadap kecenderungan teoritis dari kelompok ini.
Marx malanjutkan studinya di
Universitas Jena dan meraih gelar Doktornya (1841), dalam usia 23 tahun, dengan
sebuah disertasi berjudul “Perbedaan
Filsafat Alam Demokritos dan Epikuros”. Setelah lulus promosi, marx pindah ke
Koln dan menjadi pemimpin redaksi harian Die
Rheinische Zitung, sebuah Koran liberal progresif. Karena mendapat kesulitan terus
menerus dari sensor pemerintah Prussia, Marx terpaksa melepaskan jabatannya
pada tahun 1843 (namun korannya tetap dilarang) dan pindah ke Paris. Ia menikah
dengan Jenny Von Westphalen, putrie seorang bangsawan. Dalam tahun ini Marx
mulai menulis sebuah Criticue Hegel’s
Philosophy of Right (yang baru dipublikasikan abad ini). Serta dua karangan
yang dimuat dlam sebuah majalah, yaitu Criticue
Hegel’s Philosophy of Right, Introduction dan On The Jewish Question. Tiga
tulisan penting itu memperlihatkan sebuah perkembangan baru desertasinya. Ia
telah membaca karya utama Ludwig Feurbach The Essence of Christianity.
Secara fundamental Marx menyatakan bahwa sejak kemunculan pertama di dunia,
makhluk manusia tidak dimotivasi oleh ide-ide besar, tetapi oleh kepentingan materi yang sangat
dasar, kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup. Dan ini merupakan suatu
fakta tentang gerakan atas pandangan materialis tentang dunia bahwa setiap
manusia membutuhkan makanan, pakaian dan tempat berteduh, maka
setelah kebutuhan ini sudah terpenuhi kepentingan lain seperti dorongan
seni, seks dan lainnya masih melakukan proses penciptaan kebutuhan dan tuntunan
materi yang lain. Dan semuanya ini dapat dipenuhi dengan mengembangkan apa yang
disbeut sebagai suatu cara produksi.
B.
Agama adalah Candu
Dalam ungkapan Karl Marx yang mengatakan
bahwa, “agama itu candu” tidak bisa dimaknai secara langsung berdasarkan
susunan kata-kata tersebut. Seharusnya menimbang dan melihat kondisi pada saat
itu. Memang untuk dunia di awal abad 19 kondisi agama pada saat itu tidak
banyak berubah dari sebelumnya, agama (terutama Kristen pada saat itu) sering
dijadikan kendaraan politik, alat kekuasaan untuk menindas dan membohongi
publik.
Agama tampak membunuh kesadaran manusia
dan menghalangi manusia untuk maju. Bahkan sisa-sisa fanatisme beragama sampai
saat ini pun masih dapat kita rasakan. Anehnya agama begitu digandrungi tanpa
alasan, walaupun efeknya secara sosial jelas tampak buruk. Maka tak salah
fenomena ketidaksadaran manusia yang diakibatkan oleh doktrin agama oleh Karl
Marx disebut sebagai ”Candu” (sesuatu yang membuat mabuk dan ketagihan).
Raja Jaya Baya, juga mengatakan bahwa
kelak akan ada banyak orang mabuk agama (dalam ungkapan bahasa jawa, ”Akeh wong
mendem dongo”). Yang artinya banyak orang yang berdoa (ibadah) tapi tak
mengerti apa arti doannya, banyak orang shalat tapi tak mengerti apa arti shalatnya.
Oleh Jaya Baya diungkapkan sebagai ”Mendem dongo,” artinya “Mabuk doa”, dan itu
senada dengan mabuk agama, kecanduan agama yang sama diungkapkan oleh
Karl Marx. Fenomena ketidaksadaran inilah yang melanda masyarakat kita. Agama
bukan malah membuka kesadaran manusia namun menutupi kesadaran. Sehingga
melihat fenomena itu, apa yang diungkapkan Karl marx tidak salah, “Agama adalah
candu”.
Karl
Marx terkenal karena ucapannya bahwa “agama adalah candu rakyat”. Kalimat ini
sering diartikan seakan-akan Marx menuduh agama, menyesatkan dan menipu rakyat.
Dan memang, dari retorika Marxis kemudian, ucapan Marx itu sering dipakai dalam
arti tuduhan, bahwa agama dengan menjanjikan kebahagiaan di alam sesudah
kehidupan, membuat orang miskin dan tertindas menerima saja nasib daripada
memberontak terhadapnya. Hal itu lebih lagi berlaku bagi Lenin yang menulis
bahwa “agama adalah candu bagi rakyat”, jadi agama dengan licik
diciptakan kelas-kelas atas untuk menenangkan rakyat tertindas.
Akan
tetapi bukan itulah yang dimaksud Marx (Magnis-Suseno, 1999: 46). Ia tidak
membicarakan apakah fungsi agama dalam masyarakat adalah positif atau negatif.
Melainkan ucapannya itu menanggapi kritik agama Feurbach. Marx setuju dengan
kritik itu. Tetapi menurut Marx, Feurbach berhenti di tengah jalan. Betul,
agama adalah dunia khayalan di mana manusia mencari dirinya sendiri. Tetapi,
Feurbach tidak bertanya mengapa manusia melarikan diri ke khayalan daripada
mewujudkan diri dalam kehidupan nyata. Jawaban yang diberikan Marx adalah:
Karena kehidupan nyata, dan itu berati: struktur kekuasaan dalam tidak
mengizinkan manusia untuk mewujudkan kekayan hakekatnya. Manusia melarikan diri
ke dunia khayalan karena dunia nyata menindasnya.
Dari
fakta dan pemikiran-pemikiran Marx dapat diketahui bahwa yang menjadi objek
kritik Marx ialah orang yang menjalankan agama, bukanlah agama itu sendiri.
Karena manusia merupakan faktor independen yang melatarbelakangi terciptanya
agama yang merupakan faktor dependen, atau sesuatu yang dipengaruhi.
Sebagaimana candu, semakin banyak dikonsumsi maka semakin menggerogoti jiwa
pecandunya. Namun selalu ada keinginan yang kuat dan hasrat tak tertahankan
untuk seallu menkonsumsi candu. Seperti itulah agama menurut Marx.
Dalam
pada itu, yang dikritik oleh Marx pun merupakan pemahaman manusia terhadap
agama itu sendiri yang pada akhirnya direalisasikan ke dalam kehidupan
sehari-hari.
Pertanyaan
yang terbesit dalam benak tentu tentang kebenaran teori Marx ini sebagai
refleksi kegundahan hatinya melihat keadaan sekitarnya, dan benarkah bahwa
manusia agar ia dapat mengembangkan diri sebagai mahkluk yang sosial dan
politik harus berhenti tunduk terhadap Allah? Jika pemikiran Marx ini dipandang
sebelah mata tentu sudah jelas bahwa dua pengandaian Marx ini tidak benar,
haus kelihatan dari praxis agama. Agama bukan pelarian apabila agama
justru memberdayakan para penganutnya untuk membangun masyarakat yang solider
dengan mereka yang mskin dan lemah, masyarakat yang positif, damai saling
menghormati, serta melawan ketidakadilan dan penindasan mereka yang tidak
berdaya. Dan profil para agamawan harus memperlihatkan bahwa mencari Allah
bukan hanya tidak mengasingkan manusia dari dirinya sendiri, melainkan justru
akan mengembangkan identitas dan hakekatnya yang positif. Menjawab panggilan
Sang Pencipta memang tidak mungkin mengasingkan ciptaan dari hakekatnya, tetapi
hal itu hanya akan meyakinkan apabila kaum agamawan adalah manusia-manusia yang
terbuka, positif, toleran, yang memperhatikan saudara dan solider, yang
mencintai keadilan dan melawan ketidakadilan tanpa menjadi keras di dalam hati.
Akan
tetapi, jika dilihat secara komprehensif dan melihta latar belakang serta
metodologi dan kerangka berpikirnya, ia tidak bermaksud menjastifikasi semua
agama negatif, pun yang ia kritik pada dasarnya bukanlah agama itu sendiri,
melainkan manusia atau penggunanya.
Tidak
semua agama, memang, yang dianggap seperti itu oleh Marx, meskipun kebanyakan
orang menganggapnya sebagai paham dan pemikiran untuk semua agama. Berdasarkan
latar belakang Marx dan alasan yang diberikan Marx mengenai mengapa manusia
selalu pergi ke dunia khayalan, yang tidak lain adalah agama dan segala
aspeknya, agama yang dianggap candu oleh Marx adalah agama yang tidak bisa
dirasionalisasikan. Semuanya berbau khayalan dan mistik. Tidak membawa kemajuan
terhadap dunia nyata seperti perekonomian, kesejahteraan rakyat, kemakmuran,
sopan santun, dan lain sebagainya yang menyangkut aspek materi.
Semakin
manusia “mengkonsumsi” agama, maka ia akan semakin gila, atau bahkan ia sudah
lebih gila sebelumnya. Itulah yang selama ini diungkapkan oleh Marx. Manusia
tidak mempedulikan perihal-perihal materi yang sudah tentu hadir dalam
kehidupan nyata. Manusia hanya terlena dengan khayalan-khayalan mereka tentang
agama dan kehidupan akhirat, hikmah-hikmah, dan mistik.
Agama,
seperti candu, menghancurkan, menjerumuskan dan merusak tatanan kehidupan
manusia di muka bumi dengan janji-janji yang tidak rasional. Orang-orang yang
terpuruk di dunia nyata, misal dalam hal ekonomi maupun kesejahteraan hidup
lainnya, selalu melarika diri kepada agama. Mereka mencari ketenangan dalam agama,
seakan agama akan memberikan kesejahteraan dan uang yang banyak, padahal tidak.
Orang hanya akan semakin ketergantungan dengan agama.
“Agama
sebagai candu atau alienasi (pengasingan)” menuruk Marx merupakan refleksi dari
keadaan manusia yang tidak menjadi diri sendiri, manusia yang menjadi objek
Tuhan sehingga ia tidak memiliki otonomi terhadap diri sendiri tetapi malah
menggantungkan dirinya pada agama yang justru diciptaka oleh manusia. Ia tunduk
terhadap agama, ia kehilangan dirinya, tidak bisa menguasai diri untuk meraih
apa yang diinginkannya. Manusia tidak mengobjektifkan dirinya.
Pemahaman
seperti ini, menurut hemat penulis, tidak lepas dari pemikiran Marx mengenai
teori ekonomi dan politik. Ia menggiring prinsip-prinsip agama kepada
prinsip-prinsip ekonomi dan politik sehingga pemikiran kapitalis lah buahnya.
Manusia
terasing dari diri sendiri, tidak memiliki otonomi terhadap dirinya. Ia bekerja
di luar dirinya, dan tidak menjadi dirinya. Doktrin agama sebagai pengasingan
ini merupakan bentuk protes Marx terhadap agama dan keinginannya untuk
mendekonstruksi agama. Manusia-manusia yang putus asa dari kiprahnya di
kehidupan nyata memalingkan dirinya dari dunia kepada agama. Sungguh fenomena
yang mengganjal dan tidak layak dilakukan oleh manusia, menuru Marx. Agama
benar-benar telah menjadi candu yang mengasingkan manusia dari kemestian
dirinya sebagai manusia.
Bentuk
agama sebagai candu dan alienasi yang dikemukakan Marx tercermin dalam realitas
kehidupan manusia sendiri, yakni manusia memproyeksikan dirinya kepada Tuhan
dan tidak pernah melihat hakikat dirinya. Diktrin Marx ini ingin menafikan
agama berikut aspek-aspeknya dalam kehidupan manusia.
Seperti
apa yang dikemukakan Daniel L. Pals bahwa ada dua hal yang harus diperhatikan
sejak awal berkenaan dengan Karl Marx. Pertama, bentuk komunisme, Marx
hanya memberikan suatu teori tentang agama, bukan sebuah pemikiran total yang
dengan sendirinya menyerupai sebuah agama. Dan yang lebih penting apa yang
dihadirkan Marx dalam pemikirannya bukanlah suatu catatan tentang agama secara
umum melainkan suatu analisis tentang agama Kristen dan agama lainnya yang
serupa dengan menekankan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dan
eskatologi. Sehingga dalam pemikirannya hanya pemikiran Kristen yang semula
memberikan pengaruh atas modal dasar teori yang telah dicetuskannya itu ketika
ia mengemukakan bahwa agama sebagai pelarian orang miskin dari penderitaan dan
penindasan ekonomi. Kedua, filsafat Marx begitu jauh jangkauannya,
apa yang ia tawarkan sebagai suatu “teori” tentang agama tradisional
merupakan bagian yang agak kecil dan tidak mesti sentral dari pemikirannya.
Ketidakpercayaannya
terhadap agama, Marx melihat agama sebagaimana halnya Sigmund Frued yang
melihat agama melalui analisa individual neurotik begitu pula dengan Emile
Durkheim melalui analisa sosialnya, maka Marx pun menganalisa agama melalui
ekonomi dan politiknya sebagai alur pendekatan fungsional. Dengan pendekatan
tersebut menjadi suatu keberhasilan Marx dalam melihat agama melalui sudut
pandang kaitannya dengan ekonomi sehingga membawa Marx pada reduksionisme yang
khas (Pals, 2001: 242-243).
Teori
Marx mengenai agama sebagai alienasi dan candu ini mengungkapkan bahwa
penderitaan manusia adalah tempat kehadiran Tuhan. Paham ini mendobrak paham
manusia tentang otonom iagama yang mengekang kebebasan diri dan menghindari
agama serta tetap dalam aturan diri sendiri sebagai fitrah manusia untuk
berkiprah.
Agama
hanya untuk diikuti, tidak untuk diprotes. Manusia hanya boleh tunduk kepada
agama, tidak boleh membantah. Hal inilah yang menjadi keresahan Marx karena
disini manusia tidak dapat merealisasikan dirinya sendiri dalam kehidupan ini.
Manusia terus dikekang oleh agama, tetapi manusia selalu bergantung padanya
sehingga menimbulkan kekacauan, kehancuran, dan kerusakan tatanan kehidupan.
C.
Kritik Karl Marx terhadap Agama
Membahas
tentang ideoogi dan superstruktur pada akhirnya akan menggirirng kita ke dalam
pembicaraan tentang agama. Inti pandangan Marx dalam konteks ini kadangkala
membicarakan agama dalam ungkapan yang baik sekali, namun dalam kesempatan lain
berubah sangat kasar dan kejam. Menurrutnya agama adalah sebuah ilusi. Rasa
takut adalah sebuah ilusi dengan konsekuensi yang sangat menyakitkan. Agama
adalah bentuk ideologi yang paling ekstrem dan paling nyata, maksudnya agama
merupakan sebuah system kepercayaan yang tujuan utamanya adalah dapat
memberikan alasan dan hukum-hukum, agar seluruh tatanan dalam masyarakat bisa
berjalan sesuai dengan keinginan penguasa.
Marx
menegaskan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan atau dewa-dewa adalah lambing
kekecewaan atas kekalahan dalam perjuangan kelas. Kepercayaan tersebut adalah
sikap memalukan yang harus dienyahkan, bahkan dengan cara paksaan. Marx
mempunyai motto, “Aku benci semua dewa”. Alasan Marx adalah dewa-dewa tersebut
tidak mengakui bahwa kesadaran diri manusia adalah derajat keTuhanan tertinggi
.
Sebenarnya
penolakan Marx terhadap agama satu sisi yang berbeda dengan kampanye
intelektual yang dilancarkannya agar semua orang menelanjangi keburukan agama.
Sampai tahun 1840-an Marx belum menulis suatu gagasan detail tentang apa yang
disebutnya kritik terhadap agama. Baru setelah melewati periode yang paling
penting dalam pemikirannya (setelah membaca tulisan Ludwich Feuerbach-seorang
materialis penganut Hegelian muda di Berlin) kenyataan menjadi lain. Menurut
Feurbach paham Hegelian dan teorlogi Kristen sama-sama melakukan kesalahn yang
serupa. Keduanya sama-sama membicarakan tentang Tuhan atau yang absolut padahal
yang sebenarnya mereka bicarakan adalah kemanusiaan itu sendiri. Hegel pun
punya pemikiran yang tidak jauh berbeda. Dia mengedepankan ide-ide abstrak
seperti kebebasan, kebaikan, rasio, semua .itu dengan cara mengklaimnya sebagai
ekspresi dari sesuatu yang absolut, dan tak terlihat, dan dialah yang mengatur
dunia nyata ini. Hal ini sama kelirunya dengan anggapan teologi Kristen tadi,
konsep rasio dan kebebasan seharusnya digambarkan sebagai bagian alamiah
manusia itu sendiri. Teologi Kristen dan filsafat hegel adalah contoh dari
bentuk kesalahan alienasi kesadaran manusia.
Setelah
membaca argumentasi Fruerbach, Marx sepenuhnya sepakat dengannya. Pandangan
Freurbach tersebut kemudian diadopsi oleh Marx. Kemudian kritik Marx terhadap
agama (Tuhan) adalah karena sesungguhnya manusialah yang menciptakan agama,
bukan agama (tuhan) yang menciptakan manusia.
Marx
menilai argument Fruerbach masih mengandung kelemahan. Yaitu, jika
mempermasalahkan kenapa manusia tidak mau memanfaatkan potensi dalam diri
mereka sendiri sehingga mereka bersiteguh mengatakan diri mereka penuh dosa dan
mau mengabdikan seluruh hidup kepada Tuhan? Fruerbach cenderung menjawab
pertanyaan tersebut bahwa kondisi itu sudah takdir manusia untuk
teralienasi-mendera diri dengan penderitaan atas nama Tuhan. Marx menegaskan
bahwa kita harus menarik garis parallel antara agama dan aktivitas sosio
ekonomi. Keduanya sama-sama menciptakan alienasi, agama merampas
potensi-potensi ideal kehidupan alami manusia dan mengarahkannya pada realitas
asing dan unnatural yang kita sebut Tuhan, ekonomi kapitalis merampas hal yang
lain dari ekspresi alami manusia.
BAB III
A.
Kesimpulan
Agama tampak membunuh kesadaran manusia
dan menghalangi manusia untuk maju.Bahkan sisa-sisa fanatisme beragama sampai
saat ini pun masih dapat kita rasakan. Anehnya agama begitu digandrungi tanpa
alasan, walaupun efeknya secara sosial jelas tampak buruk. Maka tak salah
fenomena ketidaksadaran manusia yang diakibatkan oleh doktrin agama oleh Karl
Marx disebut sebagai ” Candu ”( Sesuatu yang membuat mabuk dan ketagihan ).
Kejahatan yang tidak bisa diampuni
adalah bila kita pasrah kepada ketidakadilan dengan dalih bahwa ia lemah atau
tertindas di dunia. Al-Qur’an menggunakan istilah menganiaya diri sendiri atau
berdosa terhadap jiwa mereka sendiri, untuk menjelaskan orang yang menerima
suatu posisi yang lebih rendah dari pada kedudukan yang diinginkan Tuhan bagi
semua orang dan menyerukan kepada mereka untuk bekerja dengan segala daya dan
upaya mereka untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Daniel
L. Pals. 2012. Seven Theories of Religion.
Jogjakarta: IRCiSoD.
Djamanuri.
1992. Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta:
Rajawali Pers.
Magnis, Frans. & Suseno. 1999. Pemikiran
Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Internet